Mengenal Istilah 'Poejangga Baroe' yang melegenda

 

Ilustrasi buku lama

Pada awal abad kedua puluh, suku-suku asli negara Hindia Belanda – sekarang Indonesia – mulai merasakan semangat nasional, yang akhirnya dirumuskan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Kelompok-kelompok ini mendirikan pelbagai partai politik yang mencerminkan idelogi mereka, termasuk Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia.

Rasa persatuan dan kesatuan ini juga dicerminkan dalam media baru. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond (1917) mengajukan negara modern yang bebas dari sistem feodalisme tradisional. Pandangan nasionalis juga diajukan dengan publikasi untuk dewasa, termasuk Pandji Poestaka (mulai tahun 1930) dan Timboel (mulai tahun 1932); publikasi ini tidak bertahan lama dan hanya memuat karya sastra sebagai tambahan. Ada pula usaha untuk mendirikan majalah sastra berbahasa Melayu, misalkan Malaya yang diumumkan pada tahun 1921; namun, usaha-usaha ini tidak berhasil.

Pada awal abad kedua puluh, suku-suku asli negara Hindia Belanda – sekarang Indonesia – mulai merasakan semangat nasional, yang akhirnya dirumuskan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Kelompok-kelompok ini mendirikan pelbagai partai politik yang mencerminkan idelogi mereka, termasuk Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia.

Rasa persatuan dan kesatuan ini juga dicerminkan dalam media baru. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java (1915) dan Jong Sumatranen Bond (1917) mengajukan negara modern yang bebas dari sistem feodalisme tradisional. Pandangan nasionalis juga diajukan dengan publikasi untuk dewasa, termasuk Pandji Poestaka (mulai tahun 1930) dan Timboel (mulai tahun 1932); publikasi ini tidak bertahan lama dan hanya memuat karya sastra sebagai tambahan. Ada pula usaha untuk mendirikan majalah sastra berbahasa Melayu, misalkan Malaya yang diumumkan pada tahun 1921; namun, usaha-usaha ini tidak berhasil.

Poedjangga Baroe ditutup dengan runtuhnya pemerintah Hindia Belanda setelah Jepang menduduki Indonesia pada bulan Februari 1942; edisi terakhir yang diterbitkan berjilid tiga dan berlaku untuk periode Desember 1941 hingga Februari 1942. Dalam edisi ini, redaksi menulis bahwa mereka hendak melanjutkan penerbitan selama keadaan masih memungkinkan; ini tidak terwujud, biarpun ada penulis-penulis yang menggunakan gaya bahasa yang mirip. Sampai ditutup, ada kurang-lebih sembilan puluh edisi yang diterbitkan.

Dari tahun 1948 sampai 1954, setelah penyerahan Jepang dan menjelang akhir Perang Kemerdekaan Indonesia, series baru dengan judul yang sama didirikan oleh STA. Penulisnya baru, termasuk Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, dan Asrul Sani. Majalah Pudjangga Baru ini kemudian diganti dengan Konfrontasi, yang juga dipimpin oleh STA dan diterbitkan setiap dua bulan dari tahun 1954 sampai 1962.

Langganan Poedjangga Baroe tidak pernah lebih dari 150 pada waktu yang bersamaan. Menurut ahli sejarah Heather Sutherland, sirkulasi rendah ini berdasarkan beberapa faktor budaya. Pertama, masyarakat Indonesia pada waktu itu jarang mendapatkan pendidikan tinggi, ataupun bisa membaca. Kedua, kaum intelektual Indonesia pada umumnya menggunakan bahasa Belanda dalam situasi formal, sementara dalam keadaan yang lain mereka menggunakan bahasa daerah; hal ini menyebabkan kesulitan untuk memahami Poedjangga Baroe yang berbahasa Indonesia itu.

Selama masa penerbitannya, Poedjangga Baroe mempunyai lebih dari 125 pegawai atau penulis. Sebagian besar berasal dari Sumatra, dengan pendidikan tinggi dalam sekolah Barat dan kefasihan berbahasa Belanda. Mereka adalah kaum modernis, dan sebagian besar masih berusia sekitar 25 tahun. Menurut Armijn, ciri khas mereka ialah pandangan hidup mereka, bukan gaya penulisan yang mirip.

Tujuan Poedjangga Baroe awalnya ialah untuk memajukan gaya bahasa dan sastra yang baru; tujuan ini bertahan sehingga April 1934. Perlahan-lahan ruang geraknya dikembangkan sehingga pada tahun 1935 termasuk budaya, seni, dan isu sosial. Setelah tahun 1936, tujuan majalah ini ialah untuk menjadi "pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia". Namun, menurut Sutherland para penulis Poedjangga Baroe lebih mengutamakan keperluan dan pendapat kaum intelektual yang modernis dan pro-budaya Barat; pembahasan keperluan sosio-politik masyarakat luas sangat langka.

Menurut prospektus tahun 1933, dari awalnya Poedjangga Baroe dimaksudkan untuk memuat berbagai jenis karya sastra, termasuk fiksi seperti prosa dan puisi (baik modern maupun tradisional) dan non-fiksi seperti kritik sastra, resensi, hasil penelitian, dan opini mengenai sastra dan bahasa. Dalam sembilan tahun penerbitan, Poedjangga Baroe asli memuat lebih dari 300 butir puisi dan, dalam edisi-edisi khusus, beberapa antologi puisi. Biarpun karya prosa lebih jarang, majalah ini masih dapat memuat lima karya drama, satu novel, dan beberapa cerpen. Selain tulisan ilmiah biasa, Poedjangga Baroe juga menerbitkan edisi khusus untuk mengenai tokoh emansipasi Kartini dan penulis Bangladesh Rabindranath Tagore.

Biarpun para penulis Poedjangga Baroe bersatu dalam semangat nasionalisme, mereka memiliki sudut pandang tentang budaya yang sangat berbeda. Beberapa, seperti Armijn dan STA, beranggapan bahwa pengertian budaya dan sejarah Barat sangatlah penting untuk perkembangan negara. Penulis lain, misalkan Sanusi, menekankan perlunya nilai-nilai Timur, biarpun ada aspek budaya Barat yang diterima. Penulis untuk Poedjangga Baroe juga mempunyai latar belakang agama yang berbeda. Beberapa tokoh utama, termasuk para pendiri, mempunyai latar belakang agama yang sangat berbeda, dari sekuler hingga Islam santri. Berasal dari pandangan budaya yang bertentangan itu, antara September 1935 dan Juni 1939 sejumlah polemik diterbitkan dalam majalah, yang membahas cara terbaik untuk mengembangkan budaya Indonesia.

Penulis dalam majalah Poedjangga Baroe dipengaruhi oleh Tachtiger, gerakan sastra Belanda dari tahun 1880-an. Sutherland menyatakan kalau tema-tema romantis digunakan sebagai pelepas lara atas perubahan dalam masyarakat Indonesia. Berbeda dari karya-karya terbitan Balai Pustaka, misalkan Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, yang menekankan kearifan lokal, prosa yang dimuat dalam Poedjangga Baroe menekankan identitas nasional, dan penulis bahkan menulis tentang daerah yang belum pernah dikunjungi. Tema lama, seperti kawin paksa, ditinggalkan. Menurut Sutherland, sebagian besar penulis Poedjangga Baroe menggunakan tema ambigu terhadap pemerintah Hindia Belanda dan budaya tradisional sebagai tema utama dalam karya mereka. Biarpun mereka menolak kekuasaan Belanda atas Nusantara, mereka merangkul budaya Barat; Sutherland menulis bahwa beberapa penulis yang paling nasionalis sebenarnya sangat kebaratan.

Keith Foulcher, seorang dosen sastra dan bahasa Indonesia di Australia, menulis bahwa puisi yang dimuat dalam Poedjangga Baroe berasal dari penataan ulang bentuk tradisional dan menekankan pemilihan kata yang estetis; menurut dia, tema yang dituliskan termasuk tujuan mulia atau rasa kesepian di tengah keindahan alam. Menurut HB Jassin, puisi-puisi ini, biarpun menggunakan bentuk gaya Barat dan diksi ala Indoneisa, masih mempunyai irama Melayu.

Disarikan dari berbagai sumber relevan

Posting Komentar

0 Komentar