![]() |
Kasih Tak Berbatas |
Sastra Tulisan - Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah sebuah keluarga sederhana. Bapak dan Ibu adalah sepasang suami istri yang pekerja keras. Setiap pagi, mereka bangun sebelum matahari terbit. Bapak bekerja sebagai tukang kayu, sedangkan Ibu membantu tetangga menenun kain. Mereka berjuang setiap hari demi menyekolahkan dua anak mereka, Adun dan Ukar.
Adun adalah anak pertama, usianya 18 tahun. Dia terkenal di desa sebagai pemuda yang sering membuat masalah. Seringkali dia berkumpul dengan teman-temannya hingga larut malam, bahkan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk. Di sekolah, Adun tak pernah serius. Nilainya selalu di bawah rata-rata, dan dia kerap kali bolos. Meskipun sudah sering dinasihati, Adun tetap tak peduli.
Di sisi lain, Ukar, anak kedua, memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Ukar baru berusia 15 tahun, tapi dia sudah sangat dewasa dalam berpikir. Dia rajin belajar, sopan, dan selalu membantu orang tuanya. Setiap hari sepulang sekolah, Ukar membantu Bapak di bengkel kayu atau membantu Ibu menenun. Meskipun usianya masih muda, Ukar selalu mencari cara agar bisa meringankan beban orang tuanya.
Malam itu, setelah seharian bekerja keras, Bapak duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk. Tubuhnya lelah, tetapi hatinya lebih berat memikirkan masa depan Adun. Ibu duduk di sebelahnya, menenun sambil sesekali melirik Bapak.
“Bagaimana dengan Adun?” tanya Ibu pelan, seolah takut pertanyaannya menambah beban di pikiran Bapak.
Bapak menghela napas panjang. “Entahlah. Aku sudah mencoba bicara padanya. Tapi dia tak mau dengar. Selalu begitu.”
Ibu terdiam, benang di tangannya terus bergerak. "Mungkin kita harus lebih sabar lagi."
"Sabar?" Bapak tersenyum pahit. "Kita sudah sabar bertahun-tahun, tapi dia tak pernah berubah."
Sementara itu, Ukar yang baru selesai belajar, datang menghampiri kedua orang tuanya. "Bapak, Ibu, apa aku bisa membantu besok? Aku tak ada pelajaran tambahan di sekolah," tanya Ukar dengan senyum ramah.
Bapak menatap Ukar dengan mata yang penuh rasa syukur. “Kamu selalu tahu kapan Bapak butuh bantuan. Besok kamu bisa ikut ke hutan. Bapak butuh bantuan mengangkut kayu.”
Malam terus beranjak. Adun belum pulang, meskipun jam sudah menunjukkan tengah malam. Setiap malam seperti ini, Bapak dan Ibu selalu menunggu, berharap Adun akan segera berubah.
Pagi berikutnya, seperti biasa, Ukar ikut Bapak ke hutan. Mereka bekerja keras mengumpulkan kayu, meskipun panas terik membuat tubuh berkeringat. Sepanjang perjalanan, Bapak tak henti-hentinya memuji Ukar yang meskipun masih muda, selalu siap membantu.
Saat mereka kembali ke rumah, Adun sudah di rumah, tapi wajahnya tampak kusut. Dia duduk di depan pintu dengan tatapan kosong. Bapak mendekat, hatinya berdesir. "Ada apa, Dun?" tanya Bapak dengan suara pelan.
Adun tak menjawab. Setelah beberapa detik, akhirnya dia berbicara dengan suara pelan, “Aku… aku dipecat dari kerjaanku di bengkel. Teman-teman bilang aku tak berguna.”
Bapak terdiam sejenak. Ia tahu perasaan Adun saat ini, perasaan gagal dan putus asa. Namun, Bapak tahu inilah saatnya berbicara dari hati ke hati.
“Kamu tahu, Dun, hidup ini memang keras. Tidak ada yang mudah. Tapi Bapak dan Ibu bekerja keras setiap hari bukan hanya untuk hidup, tapi untuk kamu dan Ukar. Bapak tahu kamu bisa lebih baik dari ini, kalau kamu mau berusaha,” kata Bapak, suaranya bergetar.
Adun menatap ayahnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Pak. Semua orang menganggap aku gagal.”
Bapak menggeleng, lalu duduk di samping Adun. “Kamu tidak gagal. Kamu hanya belum mencoba dengan sungguh-sungguh. Selama kamu masih punya kesempatan, kamu bisa berubah.”
Hari-hari berlalu, dan sedikit demi sedikit, Adun mulai berubah. Meskipun tak secepat yang diharapkan, dia mulai membantu di bengkel kayu, dan sesekali menemani Bapak ke hutan. Dia juga mulai mengurangi waktu bersama teman-temannya. Meskipun dia masih sering merasa kesulitan, dukungan dari Bapak, Ibu, dan Ukar membuatnya pelan-pelan menemukan jalannya.
Suatu hari, Adun pulang lebih awal dari biasanya. Dengan senyum di wajahnya, dia mengumumkan, “Aku diterima lagi di bengkel, Pak. Kali ini aku janji akan lebih sungguh-sungguh.”
Bapak tersenyum lebar, sementara Ibu tak bisa menyembunyikan air mata harunya. Ukar yang mendengar kabar itu, hanya bisa tersenyum bangga pada kakaknya. Mereka tahu, perjalanan ini belum selesai, tapi dengan dukungan keluarga, Adun akhirnya bisa menemukan jalannya.
Keluarga kecil itu mungkin tak memiliki banyak harta, tapi mereka memiliki satu hal yang tak ternilai: kasih sayang dan dukungan tanpa batas. (Esbe)

0 Komentar